28 Mei 2009

Umpama Mimpi diatas Mimpi

Jika pernah angin tak sempat menitipkan kerinduan pada awan..
Jika pernah awan tak sempat menyampaikan pada hujan..
Aku justru tak sanggup sampaikan tiap tetesan rindu itu mengaliri hatiku padanya..

Dia mengetuk setiap relung...
Bila resahku sudah tak lagi dapat ku bendung,
Bila kehampaan itu kian merengkuh,
Bila ketidakberdayaanku mengikut kata tanpa bicara.

Umpama mimpi diatas mimpi...
Mampukah aku bangun tak terhenyak?
Ataukah aku kian pulas di buai mimpi tanpa peduli itu hanya mimpi?
Ataukah mimpi diatas mimpi ku hanyalah mimpi sekejap lantas pergi?..

Umpama mimpi diatas mimpi...
Aku ingin bermimpi abadi,
Dimana aku yang tak abadi tetap tak abadi,
tapi aku abadi..

Bahasa Hati

Inilah bagian bahasa itu...
Tiada bentuk,warna,pun aroma,
Hanya suara-suara menggema di sekujur badan,
Seperti mengisi tiap sendi hidup tak terbantah.

Inilah bagian bahasa itu...
Dimana tak ada tempat tuk disebut sebagai ruang,
Dimana tak ada jarak tuk disebut jauh ataupun dekat,
Dimana tak ada pengakuan untuk di dasarkan.

Inilah bagian bahasa itu...
Bahasa yang terucap tanpa lisan,
Di dengar bukan oleh telinga jasad,
Ataupun di rasa dengan rasa kulit pun lidah.

Inilah bagian bahasa itu...
Bahasa tertinggi dari semua bahasa dunia,
Tak di pelajari tetapi di rasa dan di mengerti,
Abadilah rasa hati..

Hujan Malam itu...

Adalah hujan yang kesekian kalinya mendinginkan tubuhku..
Percikkan butir-butir dinginnya tersirat angin menoreh lembut,
Sapakan dingin ulurkan sunyi.

Hujan malam itu...
Seperti menjadi ruang tersendiri atas jiwaku merasuk dalam waktu,
Menyusuri gelapnya malam beriring rinai nya,
Bersama kilatan juga gelegar menggetarkan dada.

Hujan malam itu...
Meringkuk aku memeluk benci,
Mengusir arah gelap hatiku biar tak berjelaga,
Menghempaskannya jauh ke dada langit.

Hujan malam itu...
Menyanjung hatiku menyibak perih,
mengobati nelangsa berlaksa-laksa,
Dan pergi berselubung tudung curiga.

Hujan malam itu...
Pengusir sepi di lelap mati.

Di Pucuk-Pucuk Sepi

Menebas haru berpangku tangan...
Hendak ku seka sudahi jua airmata,
Mimpi biar berarung mimpi,
Sepi-sepi tetaplah sepi.

Di pucuk-pucuk hening...
Di ingatan usang waktu berdebul,
Lepaskan tanganku jangan di raih,
Aku tak mau terpuruk lagi.

Di pucuk-pucuk sepi...
Usir aku kembali nyata,
Biar terangkat jiwa dari selimutnya,
Biar lerai segala sangka memburai,
Sepi..

Ketika Harus Memilih

Meski pasti akan ada yang terluka...
Apalah daya jalan musti di pilih,
Sebagai realita yang tak bisa di hindari,
Walau tiada hendak menebar luka.

Memilih bagiku tidaklah mudah...
Apalagi harus mengorbankan cinta,
Biarpun tangan telah tebakar,
Teramat berat aku musti memilih.

Aku mencintainya..
Membutuhkannya lebih dari apa yang pernah dia tahu tentangku,
Menyayanginya lebih dari apa yang ku fahami sendiri,
Teramat berat bagiku..

Tuhanku...
Apa aku salah jika memilih?..
Apa aku salah tetap mencintainya?..
Apa aku salah jikalau tak mampu meninggalkannya?..

Tuhanku...
Di ketika harus memilih,
Bersalahkah aku dengan pilihanku ini?..
Mengapa musti dilema ini yang Engkau pilihkan untukku?..
Aku perih..

Dalam diam terbeban

Ku tengadahkan kepala...
Berharap penat-penat ini kan melepuh beriring rebahnya tubuhku,
Berharap terangkaikan satu kata damai tuk merengkuh,
Menebas sepi ku bertalu-talu.

Aku gelisah dalam diam ini...
Bukan semata perih ataupun cinta ku pertanyakan,
Ekspresi ku ini adalah sepi,
Kata tersunyi.

Apa itu sepi...
Bila penat ku adalah keindahan,
Apa perihku...
Bukan cinta tak bertaut.

Aku ingin hilang...
Tak ada tubuh yang ku sesal salah,
Tak ada rintih karna ku buat luka,
Tak ada perih ku sangka penyebabnya.

Sepi..sepi...
Mata cahaya mata cahaya
Terang gelapi aku